Pages

Kamis, 03 Februari 2011

Galaksi Tertua Yang Kesepian di Awal Alam Semesta

Astronom memang tidak mengetahui dengan tepat kapan bintang pertama lahir di alam semesta. Namun setiap langkah lebih auh dari Bumi akan membawa manusia masuk lebih dalam ke tahun-tahun awal pembentukan bintang dan galaksi yang terjadi setelah terjadinya Dentuman Besar.

Kandidat galaksi tertua yang dipotret Hubble. Kredit : NASA/ESA/Garth Illingworth (UCSC)/Rychard Bouwens (UCSC/Leiden University)/HUDF09 Team
Sebelumnya telah diklaim bahwa galaksi terjauh yang ditemukan memiliki pergeseran merah 8,6 dan berusia 600 juta tahun semenjak terjadinya Dentuman Besar. Kali ini ada sebuah galaksi lainnya yang lebih tua dan memiliki pergeseran merah lebih besar yang berhasil dilihat Teleskop Hubble.
Obyek redup yang ternyata merupakan galaksi dengan bintang-bintang bitu tersebut berada pada jarak 13,2 milyar tahun cahaya dari Bumi dan memiliki pergeseran merah 10,3. Dengan demikian ketika manusia pertama kali melihat cahayanya si obyek ini diperkirakan berusia 480 juta tahun semenjak terjadinya Dentuman Besar. Atau sekitar 150 juta tahun lebih tua dari galaksi tertua sebelumya.  Penemuan ini menunjukkan kalau gambaran alam semesta saat muda jauh lebih kosong dari yang diperkirakan sebelumnya.
Galaksi Tertua
Galaksi yang tampak hanya sendirian tersebut dilihat oleh Hubble Ultra Deep FIeld, pencitraan infra merah dari langit malam yang terdiri dari obyek – obyek paling redup dan paling jauh yang bisa dipotret sampai saat ini.
Dalam penelitian ini,  Rychard Bouwens dari Universitas Leiden bersama rekan-rekannya menentukan jarak si galaksi dengan menggunakan pengukuran redshift atau pergeseran merah. Saat alam semesta mengembang dan obyek di dalamnya bergerak menjauh, pengamat mengamati cahaya dari sumber yang sangat jauh yang terentang lebih panjang dari panjang gelombang yang seharusnya dan menuju arah merah dari spektrum elektromagnetik.
Tim ini mencari obyek yang cahayanya sudah mengalami pergeseran merah yang artinya sudah tidak berada dalam panjang gelombang optik di spektrum dan berada pada panjang gelombang infra merah. Galaksi purba yang ditemukan ini berada sangat terpencil dan cahayanya hanya bisa terdeteksi pada panjang gelombang inframerah terpanjang yang bisa dilihat Hubble.
Karena jaraknya yang jauh, informasi yang diterima oleh pengamat berasal dari keberadaannya di masa awal alam semesta atau sekitar 480 juta tahun setelah Dentuman Besar. Periode ini berada pada batas kemampuan pengamatan Hubble, namun pemodelan yang dilakukan menunjukkan teleskop Hubble seharusnya masih bisa mendeteksi beberapa galaksi lagi dari periode waktu yang sama dan bukan hanya satu galaksi.
Kondisi yang hampir mandul pada epoh tersebut jelas sekali bertolak belakang dengan periode 650 juta tahun setelah Dentuman Besar, dimana tim peneliti sudah berhasil menemukan sekitar 60 galaksi.
Obyek terjauh yang dilihat Hubble. Obyek yang juga galaksi di masa awal setelah alam semesta terbentuk, tampak sebagai gumpalan merah redup dalam pemotretan ultra deep field. Diketahui obyek tersebut berada pada jarak 13,2 milyar tahun cahaya. Kredit: NASA, ESA, G. Illingworth (University of California, Santa Cruz), R. Bouwens (University of California, Santa Cruz, & Leiden University), dan tim HUDF09
Kedipan Kosmik
Obyek yang dilihat Hubble tampak sebagai titik redup. Ia tampak terlalu muda dan terlalu kecil untuk memiliki bentuk spiral yang umumnya menjadi karakteristik sebuah galaksi dalam alam semesta lokal. Meskipun Hubble tidak dapat melihat bintang-bintang di dalamnya, bukti yang ada jelas menujukkan kalau obyek ini merupakan galaksi kompak dengan bintang panas yang terbentuk lebih dari 100 – 200 juta tahun sebelumnya dari gas yang terperangkap dalam kantung materi gelap.
Hasil penglihatan Hubble sekaligus menunjukkan dalam kurun waktu kurang dari 200 juta tahun dengan satu kedipan mata kosmik, galaksi-galaksi besar terbentuk dengan cepat dari beberapa galaksi kecil. Laju pembentukan bintang juga meningkat sepuluh kali lipat. Jelas ini adalah sebuah perubahan yang sangat dramatis yang mengambil alih keadaan pada periode itu.
Satu hal yang menjadi tanda tanya sekaligus misteri adalah kurangnya galaksi di periode itu. Pada kisaran periode tersebut, radiasi ultraungu memisahkan banyak sekali hidrogen netral di alam semesta menjadi komponen penyusunnya yakni proton dan elektron. Sebuah proses yang dikenal sebagai reionisasi. Jika ini tidak terjadi, maka kita akan melihat lebih sedikit di alam semesta dari yang bisa kita tangkap saat ini. Hal ini disebabkan oleh hidrogen netral yang sangat efektif dalam menyerap cahaya pada berbagai panjang gelombang.
Menurut Garth Illingworth dari University of California, Santa Cruz yang juga bagian dari tim peneliti, “jika penemuan tim ini benar, maka tentunya tidak ada cukup banyak bintang disekitarnya yang bisa digunakan untuk membangkitkan keadaan ke tingkat radiasi ultraungu  yang dibutuhkan untuk reionisasi”.  Sumber lainnya seperti active galactic nuclei atau sebuah area  kompak di pusat galaksi yang bersinar sangat terang di sebagian atau di seluruh area spektrum elektromagnetik bisa jadi ikut menyediakan radiasi ekstra.  Yang jadi masalah, active galactic nuclei atau AGN ini menerima energi dari lubang hitam supermasif yang diperkirakan belum memiliki waktu yang cukup untuk terbentuk pada era tersebut.
Mendorong Batas…
Hasil yang didapat Hubble tidak serta merta disetujui oleh semua peneliti.  Menurut James Dunlop dari University of Edinburgh, UK, “data yang didapat Hubble sebenarnya tidak mampu untuk mengkonfirmasi keberadaan obyek dengan pergeseran merah yang sedemikian besar dalam panjang gelombang pendek, karena itulah para peneliti sering kali menghindari metode ini. Apalagi Hubble harus mendorong dirinya untuk bisa menerjemahkan data yang berada pada batasan kemampuannya, karena ia pada dasarnya tidak dirancang untuk itu”.
James Dunlop memang skeptis dengan keberadaan galaksi jauh yang pergeseran merahnya sedemikian besar berdasarkan laporan para peneliti. Menurutnya bisa jadi itu merupakan noise atau gangguan yang menginterfensi hasil pengamatan Hubble.
Tapi di sisi lain, ada juga tim penelitia lain yang menemukan kalau pada periode tersebut ada beberapa galaksi lainnya dari data pengamatan yang sama yang didapat Hubble. Tim ini mendeteksi setidaknya ada 10 obyek yang berpotensi sebagai galaksi pada pergeseran merah yang sama. Jika apa yang dianalisa tim ini benar maka tentu laju peningkatan galaksi antara masa 480 juta tahun dan 650 juta tahun setelah kelahiran alam semesta lebih lambat dari yang diperkirakan oleh Bouwens dan timnya.
Analisis lain dengan menggunakan laju ledakan supernova langka yakni yang dikenal sebagai ledakan sinar gamma dilakukan untuk menentukan laju pembentukan bintang di masa awal alam semesta. Analisa ini menunjukan keberadaan sejumlah besar galaksi pada periode tersebut. Dan menurut John beacom dari Ohio State University di Columbus, tim peneliti yang menemukan galaksi tertua ini belum menemukan semua bintang yang ada di masa awal alam semesta.
Yang jelas, penemuan yang dibuat Hubble ini sangat menarik namun dibutuhkan pengamatan lanjutan yang akan bisa membawa astronom pada temuan baru yang mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan seperti apa kondisi awal alam semesta. Dan misi ini akan dilanjutkan oleh James Webb Space Telescope.
Rychard Bouwens  juga berharap JWST dapat memberi jawaban sekaligus memberi informasi yang dapat menjelaskan ketidaksesuaian yang diperoleh saat ini.  Akan ada lebih banyak data karena ini bukanlah sebuah hasil akhir.
Sumber : Nature, NASA
Share |

1 komentar:

Anonim mengatakan... Reply

:d:
:h:

Posting Komentar